Karung-karung kebaikan..

Oleh:
Zolanda amelia

" hari ini tampaknya memang takkan seberuntung kemarin..." desahku kecewa..

Bagaimana tidak, jangan kan untuk bisa menabung, uang yang kudapat dari mengamen hari ini pun tak bisa dipakai untuk apa-apa, bahkan sekedar membeli nasi untuk makan malam nanti. padahal, sudah seharian ini aku tak bisa makan. karena memang jatah makanan yang ada didalam lemari usang didapur ibuku itu cuma cukup mengganjal perut adik-adikku yang masih kecil-kecil. kakak macam apa aku ini jika sampai hati menghabiskannya.. kecil- kecil begini aku juga bisa mikirin perut saudara-saudaraku yang kelaparan, entahlah dengan pemerintah kita sekarang..

Ibuku, dengan wajah tirusnya, malam ini terlihat semakin kurus dengan tonjolan-tonjolan tulang diwajahnya yang kian jelas. keriput diwajahnya pun sudah tidak bisa ditutupi lagi. bukan karena usianya yang sangat tua,. sama sekali tidak karena itu. usia ibuku ketika menikah katanya baru sembilan belas tahun, sedangkan aku, anak tertuanya, sekarang baru berumur empat belas tahun. jadi kalau ditambahkan antara usia ibuku ketika menikah dan usiaku sekarang berarti usia ibu sekarang baru tiga puluh tiga tahunan. masih relatif muda. tapi kemudaannya tertutupi dengan kesengsaraan hidup kami yang miskin ini. terlilit hutang disana-sini. Bapak, sebagai tulang punggung keluarga pun harus meninggal dihajar preman mabuk sewaktu pulang kerja. dan yah, beginilah kami ini. keluarga besar yang miskin, seorang janda dengan enam orang anak yang masih kecil-kecil.

Tapi kami bisa apa?..
Marah? mau marah sama siapa? preman yang telah membunuh bapak? atau marah sama pemerintah? aku mau-mau saja berkelahi kalau itu bisa membuat bapakku kembali dan hidup lagi. Melawan preman yang sudah membunuh bapakku juga aku mau. Tapi, kata ibuku, kalau kita menghadapi masalah dengan penuh emosi, maka masalah itu bukannya selesai tapi malah tambah banyak dan runyam. Dan, ibuku tidak mau menambahi masalah keluarga kami yang memang sudah banyak ini. Jadilah kami hanya bisa diam saja..nrimo..

Lalu, pernah sekali aku ingat, beberapa bulan yang lalu ada demo besar-besaran di ibukota, menuntut banyak hal kepada pemerintah. Yang intinya pendemo minta janji-janji kampanye pemerintah dulu dibuktikan. Tidak sekedar janji semanis madu, lalu ketika keinginan sudah didapat, seolah-olah tidak pernah berjanji apa-apa.
Jadi, menurut kesimpulanku setelah melihat demo itu, kalaupun aku tidak mampu menyelamatkan bapak dari tangan yang membunuhnya, setidaknya ada hal lain yang bisa kulakukan, selain mengamen di perempatan jalan dekat taman imam bonjol ini yang bisa membuat bapak bangga padaku, dan juga setidaknya bisa membantu ibuku melunasi hutang-hutangnya di warung bude sri yang semakin menggunung. Yang pastinya dengan caraku sendiri...
****

Aku, walaupun tampang berandal begini, bukan berarti aku bajingan yang kerjanya hura-hura dengan uang hasil jerih payahku mengamen. Tampilan fisik yang berandal ini karena memang keharusan agar bisa bertahan dengan lahan tempat ku bekerja yang keras. Begini-begini, shalat lima waktuku tidak pernah bolong seperti jadwal makanku, yang kadang sekali dua hari baru bisa diisi nasi, yang selebihnya paling banter diisi roti harga seribu rupiah untuk mengganjal perut dari pagi sampai pagi lagi. Kalau dibandingkan dengan pemerintah yang hidup mewah, naik mobil bagus, yang katanya harganya sampai milyaran, rumah mewah dengan pagar-pagar tinggi yang semakin menjelaskan kesombongan pemiliknya, belum tentu shalatnya bisa sebaik aku, atau jangan-jangan bahkan tak pernah shalat, karena sibuk menghitung uang masuk dan keluar dari saku hari itu..

Kadang, sedih juga waktu sedang bekerja mengamen di perempatan, melihat mobil mewah, yang harganya pasti selangit itu bahkan tak mau sekedar melemparkan uang recehnya yang berharga untuk orang-orang seperti aku ini. Entah karena receh pun terlalu berharga atau jijik karena melihat tampang kami yang kumal dan bau keringat ini?

Kalau ditanya ke masing-masing pengamen seperti aku, kenapa memilih profesi sebagai pengamen? pasti jawabannya kami tidak pernah memilih ingin menjadi seorang pengamen. Bukan cita-cita yang bagus. Juga bukan sesuatu yang menyenangkan harus menjadi seorang pengamen. Yang kami lakukan hanya ingin mencari sedikit reski dengan satu-satunya usaha yang kami pikir bisa kami lakukan, yaitu mengamen. setidaknya, kami tidak meminta-minta saja dijalanan. Ada juga usaha yang kami kerjakan agar mendapatkan upah, yaitu dengan menghibur orang lain dengan mengamen.

Kalaupun dibandingkan dengan pengusaha yang hobinya nilep uang rakyat, mereka yang berdasi, pakai sepatu mengkilap, mobil "pinjaman" dari rakyat, mungkin tak lebih ada harganya dari kami yang cuma sekedar pengamen kumal di perempatan ini. Begini-begini, kami juga sering diskusi dengan sesama pengamen waktu lampu sedang hijau, kenapa kebanyakan orang yang bekerja di politik itu kebanyakan adalah orang jahat, atau malah politik itu sendiri yang menjadikan orang-orang tersebut jadi jahat karena tak bisa mengontrol diri,. ahh,. entahlah,. aku juga tak tahu pasti yang mana yang benar..

*****

Pagi ini,. pas pulang dari mesjid sebelah rumah, selesai goro membersihkan got nya yang sudah mulai tersumbat, aku dikejutkan dengan mobil-mobil bagus yang parkir didepan rumahku. Tidak itu saja, ada juga beberapa orang polisi yang berdiri berjaga-jaga didekat pintu, sambil matanya terus jelalatan kemana-mana. Melihatku datang, mereka tiba-tiba saja langsung berdiri dan berjalan menghampiri. Aku yang kaget, secara refleks langsung lari meninggalkan rumah. Yang terfikirkan waktu itu, aku tidak pernah menjambret orang, malah kemarin aku yang baru saja dipalak preman perempatan, tapi kenapa aku yang ditangkap polisi?..

karena terlalu banyak berpikir, aku tidak melihat ada akar pohon yang menyembul kepermukaan tanah, dan, akhirnya aku jatuh tertelungkup. yah, sudahlah kalau harus berakhir dipenjara, pikirku. Yang masuk penjara kan tidak hanya orang salah, banyak kok orang baik yang masuk penjara. Hanya saja kadang mereka sedang tidak beruntung seperti aku saja.

"jangan masukkan saya ke penjara pak,. adik-adik saya perlu saya buat nyari makan pak. saya harus pergi ngamen sekarang pak.. tolong pak, jangan tangkap saya.."..

Namun bukannya wajah beringas yang nampak, bapak-bapak berseragam coklat itu malah tersenyum-senyum lucu,. "siapa yang mau nangkap kamu? kamu ini lucu sekali ya?".. kata-kata itu membuatku tersenyum malu,. ternyata aku salah sangka..
****

Dan sekarang, disinilah aku, di sebuah gedung putih bernama istana negara.

Aku baru sadar ketika sampai dirumah, aku melihat ibu menangis dan langsung memelukku yang masih belepotan tanah akibat terjkatuh.

“kamu memang anak ibu yang paling baik nak,..” sembur ibuku dengan penuh airmata haru.

Bapak-bapak berkumis yang duduk diruang tamu kami yang sempit itu pun akhirnya berbicara juga.

“kami kesini diutus bapak presiden, nak agus. Setelah membaca surat yang kamu buat itu, pak presiden terdiam lama sekali. Lalu dengan mata berkaca-kaca beliau menyuruh kami untuk menemui mu disini. Beliau mau membantumu dan sekaligus keluargamu. Pak presiden mau membiayai uang sekolah mu dan adik-adikmu. Beliau memberikan deposito di bank sebanyak 200 juta, ini buku tabungannya, atas namamu. Dan mulai hari ini, kamu tidak perlu mengamen lagi. Sebagian uangnya bisa kamu ambil juga untuk modal ibumu, katanya tadi, beliau mau buka warung saja untuk usaha....”....

Suara itu lamat-lamat jadi terasa semakin kabur, wajah orang yang berbicara padaku pun semakin bias karena air yang dari tadi sudah bergayutan dimataku tiba-tiba berebutan untuk keluar, awalnya satu per satu, setetes, tapi kemudian seperti air bah yang tidak dapat kubendung lagi. Kupeluk ibu erat-erat, beliau juga menangis. Ya, menangis penuh kelegaan seperti aku,. Alhamdulillah, ternyata masih ada juga yang punya hati dan nurani di negeri ini..
****

Semua ini terjadi karena, aku, setelah menonton aksi demo di istana beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba mendapat ide. Yah aku menulis sebuah surat pendek untuk pak presiden,. Isinya juga terlalu ringkas mungkin, dan terlalu lugu. Selugu pemikiran seorang anak yang duduk dikelas dua smp, tapi itupun sudah enam bulan lalu kutinggalkan karena ketiadaan biaya lagi.

Tapi syukurlah, sekarang, aku berdiri disini, disamping ibuku yang sedang berseri-seri mukanya, entah karena memang bahagia, atau karena bedak dan baju baru yang dikenakannya, aku pun tidak tahu pasti. Yang jelas, sepucuk surat yang sudah kembali ketanganku menjadi bukti, bahwa karung-karung kebaikan yang selama ini ku gantungkan di setiap doaku, dan selalu ku maksimalkan usahanya agar bisa kuberikan untuk orang-orang disekelilingku, ternyata sekarang memang benar-benar datang dan menjadi nyata. Yah,. Setidaknya, sekarung kebaikan berupa kepercayaan dan sebuah cita-cita, berbalas kebaikan dan kebahagiaan juga.

Terimakasih ya allah,. Atas berkarung-karung kebaikan yang selalu Engkau berikan padaku. Memang tak ada yang sia-sia jika hanya berharap padamu..

Terimakasih pak “presiden”, karena mau menerima dan membaca suratku,. Semoga presiden-presiden yang akan datang juga berbuat hal yang sama, mendengarkan kata hati rakyatnya dengan sekarung, bahkan berkarung-karung kebaikan yang dimilikinya di gudang,..tak hanya menyimpannya sendiri, tapi juga sekedar berbagi dengan orang-orang kecil seperti kami..
***

Ya, dan ini adalah cita-citaku, membuat bapak bangga, walaupun dengan cara ku sendiri...
***
Khusus untuk papa,. Maaf, belum bisa membuat mu bangga dengan ku,.

Komentar

Postingan Populer