Ikhlaskah kita dengan amanah yang ada??? (throwback 2010)

Khaifa haluk ikhwah?? Bagaimana kabarmu hari ini?? Bagaimana kondisi keimananmu saat ini?? Amanahmu? Apakah berjalan lancar dan tanpa ada halangan yang berarti?? Atau apakah ada yang bisa kubantu untukmu??

Adakah pertanyaan tadi terucap kala bertemu dengan saudara kita?? Atau malah sebaliknya?? Tak ada sepatah katapun yang terucap karena tidak mengenalnya.
Tidak usah malu untuk berkata yang sejujurnya tentang siapa diri kita sebenarnya. Tidak usah ragu mengakui kelemahan kita. Ketika kita sudah tidak mampu memahami diri sendiri dan berbuat kebaikan lagi dengannya, lalu hal apakah lagi yang bisa dikatakan selain sebuah kesia-siaan??

Ketika seorang “heroik” dengan pedang panjangnya telah sangat berjasa pada negaranya dan bahkan ditangannya pula segala macam pengkhianatan diberangus, dia merasa biasa saja. Seolah hal itu adalah yang memang sudah seharusnya dilakukan olehnya.
Namun apa yang terjadi jika itu terjadi pada posisi kita yang dengan tiba-tiba saja, ditengah semangat yang membara keluar perintah dari atasan yang mengatakan harus berbalik untuk masuk kebarisan terbelakang dan menjadi sosok yang bukan siapa-siapa dan seolah kecil tak berarti.

Tapi, aku yakin engkau pasti pernah mendengar kata-kata ini: “aku berjuang bukan untuk umar, tapi untuk jalan ini!!!”. Dia tak peduli harus seperti apa ketika menjalankan tugasnya. Apakah seorang yang berada digaris terdepan dengan gelar seorang panglima, kepala suku, ataukah pimpinan. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana caranya bisa memberikan yang terbaik untuk sesuatu yang benar-benar diyakininya. Tak peduli bisikan maupun desas-desus yang ada, tidak pernah sekalipun berprasangka kenapa, yang dilakukannya hanyalah bekerja dan terus bekerja, sampai syahid yang dijanjikan itu datang kepadanya.
Dan ketika saat ini kita dihadapkan dengan pekerjaan untuk”juga” memperjuangkan hal yang sama, sudahkah kita mampu untuk bersabar dengannya?? Ataukah sedang “berusaha” untuk bersabar dalam memperjuangkannya?? Walaupun terkadang juga keluh-kesah itu masih ada tergantung kelu dilidah-lidah kita.

Lalu ketika sudah belajar sabar, cukupkah??

Ketika ditanyakan dengan jujur ke hati, sudah ikhlaskah kita selama ini dengan semua tanggungjawab yang sebagian orang menyebutnya “beban” dakwah itu ketika dipikulkan kepundak kita?
Sesabar panglima yang ikhlas ketika diturunkan dari jabatan tertinggi saat itu tanpa penjelasan yang cukup. Atau, ikhlaskah kita ketika kita yang dengan sosok “aku bukan siapa-siapa” ditunjuk untuk menjadi panglima tertinggi saat itu juga. Mirisnya, seringkali kita malah bahagia dengan julukan baru itu, PANGLIMA, KETUA, PIMPINAN, atau apapun nama jabatan yang ada,, bagaimana penyikapan kita terhadapnya??
Bagaimana jika saat ini dihadapkan pada kondisi “kau bukan siapa-siapa lagi” ketika sebelumnya “kau adalah sosok yang orang tahu kau siapa” diantara mereka. Adakah kita akan marah dan kecewa??

Disadari, terlalu banyak pertanyaan dan “judgment” disini, tapi pernahkah terpikirkan oleh kita ketika saat ini sedang memegang amanah tertentu, sebagai pimpinan, sebagai bawahan, sebagai pion yang siap dimainkan kapan saja, atau ketika kita tidak memegang satupun amanah saat ini. Semua yang ada sekarang bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, tapi seonggok besar harapan orang-orang disekitar kita yang harus segera diperjuangkan dan wujudkan. Dan saat tidak memiliki tanggungjawab(amanah organisasi), kita masih memiliki amanah lain yang sudah diberikan Allah ketika terlahir dibumi ini dan bergelar “khalifah”.
Jadi tak ada alasan untuk tidak ikut merasa bertangugung jawab terhadap dakwah ini hanya dikarenakan tidak punya amanah distruktur lembaga dakwah.

Dan sekali lagi, sudahkah kita ikhlas dengan amanah yang ada saat ini??

Ada yang mengatakan bahwa ia tak ingin berjuang untuk partai bernomor delapan itu. “aku tidak berjuang untuk angka 8 itu. Aku tidak peduli apakah dia akan menjadi besar ataukah tetap kecil. Aku tidak mau peduli dengan segala trik-triknya. Kalaupun aku ikut didalamnya, bukan berarti aku memperjuangkan partai itu, tapi aku memperjuangkan nilai-nilai yang tersampaikan didalamnya. Aku memperjuangkan senampan “nilai rasa” yang sekarang ini dihidangkan, dan orang lain hanya perlu menjulurkan tangan dan mengambilnya hingga kemudian mengunyah dan memaknai setiap rasa yang sudah tersampaikan didalamnya.” Lalu apa yang akan kita katakan lagi saat ini?

Untuk yang terakhir kalinya, sudahkah kita ikhlas dengan amanah yang ada??
Mari kita lihat lagi kedalam diri kita, benarkah kita sudah benar-benar ikhlas saat ini??
Ask your heart, and then see your face on the mirror...can you see the different?? Can you know and understand about who are the real you now?? Lets make an improvement everyday. No matter how, no matter what, just be patient and keep moving forward or we just can left you behind...


mentari, 10 juni 2010.

Komentar

Postingan Populer